Студопедия

Главная страница Случайная страница

КАТЕГОРИИ:

АвтомобилиАстрономияБиологияГеографияДом и садДругие языкиДругоеИнформатикаИсторияКультураЛитератураЛогикаМатематикаМедицинаМеталлургияМеханикаОбразованиеОхрана трудаПедагогикаПолитикаПравоПсихологияРелигияРиторикаСоциологияСпортСтроительствоТехнологияТуризмФизикаФилософияФинансыХимияЧерчениеЭкологияЭкономикаЭлектроника






Teks 3 Peringatan hari Kartini






Semaraknya peringatan hari Kartini dengan mengenakan kebaya dan beberapa event lainya terkadang menjadi pertanyaan tersendiri dalam pikiran saya, mengapa hari Kartini diperingati dengan memakai kebaya? Lantas apakah dengan demikian perjuangan Kartini dalam memperjuangkan bangsa dan kaum perempuan kala itu menjadi abadi dan sudah dihargai? Sudahkan perjuangan Kartini untuk kaum perempuan dapat diapresiasi dengan sekedar menggunakan kebaya ala Kartini atau dengan event-event semata?

Mari kita lihat sekilas apa sebenarnya yang di inginkan Kartini dalam setiap surat yang ia kirimkan kepada sahabatnya yang berkebangsaan Belanda. Dalam suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Habis gelap terbitlah terang” tersebut Kartini menceritakan isi hati serta keinginanya, semua pemikiran dan cita-citanya untuk memperjuangkan nasib perempuan Indonesia saat itu. Bila kita flash back ke masa-masa dimana Kartini tumbuh besar dan lahir di awal abad ke 20, kaum wanita di anggap tidak membutuhkan pendidikan tinggi, dengan alasan peran wanita hanya berada di kawasan domestik atau kawasan rumah tangga, di area tiga “Ur”, yaitu area dapur, sumur, kasur. Oleh sebab itu tidaklah penting bagi wanita untuk melanjutkan pendidikan tinggi atau bahkan tidak sekolahpun tidak masalah. Bila dalam suatu keluarga ada saudara laki-laki, maka perempuan harus mengalah demi saudara laki-lakinya. Karena peran laki-laki itu di luar serta di pandang lebih tinggi dibanding perempuan di dalam masyarakat, oleh sebab itulah mereka harus sekolah tinggi dan menggapai cita-cita mereka.

Nasib perempuan tertindas dan termarjinalkan oleh sebuah sistem dan nillai yang di anut bangsa- nya sendiri. Sebuah sistem yang mengetepikan hak perempuan, sebuah pemikiran yang meremehkan kemampuan perempuan untuk dapat mengecap pendidikan, untuk dapat bersaing dalam dunia kerja, untuk dapat menjadi sesuatu yang mereka inginkan. Kartini menyadari betapa jauh tertinggalnya perempuan Indonesia di banding dengan perempuan Belanda yang ia lihat dan ia temukan, baik di dalam pergaulannya sehari hari maupun dalam buku-buku bacaanya.

Perjuangan Kartini sejatinya adalah sebuah usaha keras untuk mematahkan bahkan membantah sistem yang memarjinalkan kaum ibu. Sebuah perjuangan lantang yang terus ia suarakan dengan segala resiko yang mungkin saja mengancam hidup dan kehidupannya sebagai perempuan kala itu. Sebuah semangat pantang menyerah untuk terus mengusung persamaan hak perempuan, terutama hak mengecap pendidikan dan perjuangan itu tidak hanya tertuang dalam tulisan dan surat semata akan tetapi ia wujudkan dengan mendirikan sekolah perempuan di Rembang dan Jepara.

Kartini melihat betapa banyaknya perempuan seusianya yang tidak bisa apa-apa. Perempuan-perempuan muda yang hanya disibukan dengan urusaan rumah tangga semata. Kecerdasan dan kehebatan pemikiran Kartini membuat ia menyadari bahwa sistem dan nilai-nilai seperti itu adalah bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Ia kemudian berhasil membuktikan bahwa ia adalah contoh salah satu perempuan yang memiliki pemikiran brilliant bahkan tidak lebih buruk dari pada kaum laki-laki. Melalui surat dan curahan hatinya Kartini menyampaikan semua pemikirannya tentang fenomena marjinalisasi tanah air kala itu.

Dalam suratnya, Kartini menginginkan, kaumnya juga mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan. Ia menyampaikan isi hatinya, harapan serta mimpi-mimpinya agar suatu saat perempuan-perempuan di negri ini bisa meraih mimpi-mimpi mereka. Surat itulah yang kemudian mengungkap betapa Kartini sebagai perempuan Indonesia memikirkan nasib perempuan lainya untuk mendapatkan hak-hak mereka, itulah mengapa Kartini kemudian disebut sebagai pahawan.

Secara historis, kita menyadari bahwa inti perjuangan kartini adalah memajukan hak dan harkat martabat perempuan Indonesia. Oleh sebab itu, tidaklah adil rasanya jika perjuangan Kartini lantas diperingati secara ceremonial semata. Karena memang tidak ada hubungannya antara maksud dan cita-cita Kartini kala itu dengan ceremonial “kebaya”.

Andai kata ibu Kartini saat ini masih ada di tengah-tengah kita, saya yakin ia tidak mengharapkan perjuangannya diperingati semata, apalagi bila cara kita menghargai perjuangannya hanya dengan menggunakan kebaya.

Sudah saatnya kita sebagai anak bangsa melihat ke dalam diri masing-masing, seberapa pahamkah kita tentang nilai-nilai perjuangan Kartini saat itu terhadap kaum perempuan? Bukankah yang lebih baik menghargai Kartini dan segala jerih payahnya dengan memakai pemikiranya, merasakan semangat nasionalisme nya memikirkan nasib saudara sebangsa, bila dulu Kartini memikirkan hak perempuan untuk pendidikan, maka pertanyaannya sekarang adalah apa yang sudah kita lakukan sebagai manusia bebas saat ini untuk bangsa.

Ali Husnan Kader PMII STAI Taswirul Afkar Surabaya

PMII = Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

 


Поделиться с друзьями:

mylektsii.su - Мои Лекции - 2015-2024 год. (0.007 сек.)Все материалы представленные на сайте исключительно с целью ознакомления читателями и не преследуют коммерческих целей или нарушение авторских прав Пожаловаться на материал